Senin, 10 Agustus 2009

Berharap U Hanya Dapat L?

Kamis, 16 Juli 2009
Berharap U Hanya Dapat L?



Semester 2009 sudah lewat. Kesimpulannya jelas: skenario “U” dalam upaya pemulihan ekonomi tidak terjadi. Ketika negara-negara maju di seluruh dunia menggenjot stimulus ekonomi dengan dana yang luar biasa besar, dunia berharap perkembangan ekonomi akan mirip huruf “U”. Yakni, terjun ke bawah dengan sangat tajam, tapi segera naik lagi, pulih seperti sedia kala. Huruf “U” itu diharapkan mulai terlihat bentuknya di akhir semester I, 30 Juni 2009 lalu.

Kini para ahli sudah tidak berharap lagi akan mendapatkan “U”. Tiongkok sudah segera merumuskan strategi ekonomi yang lebih baru pada Juli ini. Langkah cepat dilakukan Tiongkok setelah melihat bahwa tidak ada tanda-tanda kenaikan permintaan dari Amerika Serikat. Tiongkok, yang tahun lalu memompa stimulus untuk proyek-proyek dalam negeri, kini lebih mempertajam pengembangan ekonomi domestik. Jumlah penduduknya yang seperlima penduduk dunia dalam masa krisis ini bisa menjadi kekuatan pasar untuk industri dalam negerinya.

Tiongkok mencatat stimulus yang mencapai USD 500 miliar itu sebagian ternyata dinikmati pihak luar negeri. Singapura, misalnya, semester I tahun ini sudah jauh lebih baik daripada yang diperkirakan. Maklum, pada semester II tahun lalu Singapura sampai minus 10 persen sehingga banyak yang pesimistis akan kondisi semester I tahun ini. Tapi, besarnya stimulus di Tiongkok ternyata secara tidak langsung membawa berkah sampai ke Singapura. Permintaan Tiongkok akan barang dan jasa dari Singapura ternyata amat besar untuk ukuran Singapura. Singapura yang perbaikan ekonominya lebih cepat daripada negara maju lain, antara lain juga karena bisa memanfaatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang untuk ukuran sekarang termasuk yang terbaik di dunia.

Kita yang di Indonesia memang kurang merasakan pahitnya krisis. Apalagi, ada pemilu yang bermacam-macam yang bisa menolong menggairahkan peredaran uang. Tiongkok, India, dan Indonesia memang lagi menjadi bintang ekonomi dunia. Semula saya ikut berharap begitu selesai pemilu, ekonomi Indonesia langsung bisa tancap gas. Tapi, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa keberhasilan pemilu ternyata tidak memberikan kejutan apa-apa. Indeks harga saham gabungan justru sempat turun di bawah 2.000. Nilai rupiah juga biasa-biasa saja.

Dengan hilangnya harapan terhadap skenario “U” dan tidak adanya lonjakan ekonomi apa-apa setelah pemilu, kita dihadapkan pada skenario-skenario berikutnya. Kita harus mewaspadai skenario mana yang akan terjadi. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk setiap pribadi, perusahaan, dan negara.

Secara global, kini tinggal tersedia dua jenis skenario: pertama skenario “W-lama” dan kedua skenario “L”. Yang dimaksud dengan “W-lama” adalah huruf W yang ketika menuliskan bagian tengahnya tidak perlu naik setinggi bagian depan dan bagian belakangnya. Maksudnya, ketika ekonomi anjlok drastis, lalu diadakan stimulus di seluruh dunia, ekonomi bisa naik sedikit. Tapi, setelah itu segera anjlok lagi. Ini disebabkan bentuk stimulus yang kurang tepat.

Kalau skenario “W-lama” yang akan terjadi, sekarang ini kita justru berada dalam posisi menjelang jatuh lagi. Ini yang ramai dibicarakan di Amerika dan Inggris. Stimulus Obama dan Brown (PM Inggris Gordon Brown) dinilai kurang tepat sasaran. Tentu Obama menolak penilaian itu dengan mengatakan stimulusnya memang baru terlihat dalam jangka panjang. Namun, banyak pihak, terutama dari Partai Republik, yang sangat pesimistis. Bahkan, pendukung utama Obama sendiri, bos Berkshire Hathaway Warren Buffet, sudah menuntut Obama agar segera merancang stimulus kedua. Secara tidak langsung Buffet tentu ingin mengatakan bahwa dirinya tidak puas dengan hasil stimulus Obama. Obama tentu menolak usul itu karena tahun ini saja APBN Amerika sudah defisit lebih dari USD 1 triliun, terbesar dalam sejarahnya.

Orang seperti Buffet masih mengupayakan agar skenario W-lama yang kurang baik itu bisa terjadi. Kita boleh anjlok lagi, tapi sebaiknya jangan terlalu lama dan harus naik kembali seperti huruf W. Kalau bisa, huruf W itu mulai kelihatan bentuknya pada awal 2010. Kalau tidak, yang akan terjadi adakah skenario “L”. Dari krisis yang lalu tidak akan pernah bisa lagi naik kembali. Dari terjun ke bawah lantas jalan mendatar yang panjang.

Kalau saja 2010 tidak terbentuk skenario “W”, dampak krisis ini akan sangat panjang. Bisa jadi pada 2011 terjadi banyak hal: banyak negara berlomba mengatasi krisis dengan mencetak uang. Tidak ada jalan lain lagi. Ini akan berarti inflasi terjadi di mana-mana. Hanya komoditas emas yang aman. Dunia akan sangat kacau.

Skenario “U” sudah pasti tidak akan terjadi. Hasil semester I 2009 sudah mengatakan hal itu. Kini kita tinggal berharap skenario “W” yang lagi diusahakan bersama-sama. Kalau tidak, dunia harus siap-siap memikul huruf “L”.

Bagaimana dengan Indonesia” Saya tidak tahu kecepatan memutuskan dan bertindak Presiden SBY. Apalagi, sejumlah kambing hitam toh sudah tersedia. Misalnya, pemerintah sekarang ini lagi dalam masa transisi. Tapi, tidak ada salahnya kita segera mengamati apa yang dilakukan Tiongkok akhir Juli ini. Lalu, kalau malas berpikir, meng-copy-nya untuk disesuaikan dengan iklim Indonesia. Batu bara dan gas benar-benar harus segera diatur untuk sebesar-besarnya kepentingan dalam negeri. Bukan karena JK (Jusuf Kalla) mengatakan itu dan Prabowo geregetan karena itu, tapi memang harus diakui ide itu sangat baik untuk dilaksanakan siapa pun yang memenangi pemilu.

Tiongkok, Indonesia, India, dan ditambah Brazil dan beberapa negara Timteng memang berada dalam kondisi masih baik. Tapi, kekuatan seluruh negara ini hanya sekitar 30% kekuatan dunia. Tidak mungkin negara-negara yang masih baik ini bisa diharapkan menolong negara maju. Ibarat katak tidak mungkin menggendong gajah. Negara-negara maju tahu hal itu dan tidak banyak berharap dari situ.

Lalu apa yang harus dilakukan para pengusaha dan perseorangan penduduk Indonesia” Kita harus kembali berkonsentrasi kepada nasib kita masing-masing. Sejelek-jelek keadaan tidak akan menimpa semua orang dan semua perusahaan. Sejelek-jelek keadaan tetap saja siapa yang bekerja lebih keras, hidup lebih terkontrol, dan pikiran lebih optimistis dialah yang akan terhindar dari kesulitan itu.

Lupakan janji-janji dari siapa pun, betapa indah dan kuatnya janji itu. Ujung-ujungnya kita sendiri, setiap pribadi dan perusahaan, yang akan menanggung segala akibat yang terjadi. Biarkan orang lain pro-L, kita sendiri harus pro-W. (*)

Gaya Kepemimpinan Tenang, Dunia Usaha Senang

Senin, 27 Juli 2009


Gaya Kepemimpinan Tenang, Dunia Usaha Senang


Presiden baru sudah resmi terpilih. Gaya kepemimpinannya pun sudah lama kita tahu. Kalau toh masih ada pertanyaan: mungkinkah gaya asli SBY itu akan berubah? Kemungkinan pertama: tidak berubah. Itu bukan lagi sekadar gaya, tapi sudah karakternya. Bisa jadi SBY berpendapat bahwa apa yang dia miliki itu sudah benar. Untuk apa lagi harus berubah. Buktinya, rakyat menyenangi dan memilihnya.

Kemungkinan kedua: SBY berubah. Gencarnya kampanye JK yang mencitrakan SBY itu lambat dan peragu mungkin saja dia renungkan dalam-dalam dan siapa tahu kemudian dia diam-diam setuju bahwa negeri ini memerlukan percepatan pembangunan. Tapi, kemungkinan ini sangat kecil terjadi, mengingat dia sendiri selalu mengatakan untuk apa cepat tapi keliru. Ingat reaksi dia yang sangat cepat setelah meletusnya bom JW Marriott dan Ritz-Carlton?

Walhasil, kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa kita akan memasuki situasi lima tahun ke depan kurang lebih sama dengan apa yang sudah kita alami selama ini. Ini ada baiknya juga agar kita tidak perlu terkaget-kaget menghadapi perubahan.

Bagaimana dengan berubahnya posisi wakil presiden dari Jusuf Kalla ke Boediono? Adakah berpengaruh pada gaya kepemimpinan nasional? Hampir dipastikan tidak. Bahkan, mestinya, nuansa kepemimpinan nasional akan lebih adem-ayem, kurang berwarna, dan jauh dari kejutan-kejutan.
Memang kita masih harus menunggu susunan kabinet baru. Siapa tahu banyak kejutan. Tapi, tidak juga. Kalau toh akan ada sedikit kejutan, hanya pada pemilihan orangnya. Tidak akan pada tindakan dan kebijaksanaan yang akan dilakukan anggota kabinet itu. Susunan kabinet SBY-Boediono ini nanti tentu lebih ‘disiplin tegak lurus’. Para menteri akan antre minta petunjuk untuk melahirkan suatu keputusan penting.

Dengan gambaran itu, rasanya kita sudah bisa memperkirakan bahwa pemerintahan yang akan datang adalah pemerintahan yang berjalan dengan prinsip bahwa segala sesuatunya sesuai saja dengan peraturan. Setiap pikiran baru harus bersabar untuk menunggu sampai peraturannya berubah dulu. Terobosan akan menjadi barang yang langka dalam lima tahun mendatang.

Apakah dengan demikian keadaan negara kita akan sangat stabil selama lima tahun ke depan? Secara internal ya. Sayangnya, kita selalu punya faktor eksternal yang di luar kontrol pemerintah: bencana alam, bencana politik, bencana terorisme, bencana krisis global, dan bencana harga minyak dunia. Ketika SBY baru terpilih lima tahun lalu, dia langsung disambut tsunami di Aceh yang dahsyat. Lalu, disusul banyak bencana alam lainnya.
Memang, tsunami Aceh, di samping membawa kesulitan besar, juga membawa kebaikan besar: terselesaikannya konflik di Aceh. Tapi, bencana yang berurutan terjadi setelah itu hanya lebih banyak menyusahkan. Kita tidak tahu apakah masih akan ada rangkaian bencana lagi di depan kita. Yang jelas, begitu quick count menyatakan SBY terpilih kembali jadi presiden, terjadilah peledakan hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta.
Mengait-ngaitkan bom itu dengan SBY sebenarnya terlalu dicari-cari. Kategorinya hanya rumor, desas-desus, dan bahkan bisa cenderung fitnah. Tapi, seperti juga tsunami, kita juga berharap bom Marriott dan Ritz-Carlton bisa membawa berkah yang lain: terbongkarnya seluruh jaringan terorisme di Indonesia.

Dengan gambaran-gambaran internal dan eksternal seperti itu, adakah dalam lima tahun ke depan Indonesia maju pesat? Ataukah hanya akan “sekadar” cukup maju? Atau bahkan akan mundur?

Kalau mundur, sudah pasti tidak. Kematangan bangsa Indonesia sudah sampai pada tingkat tidak mau lagi mundur. Siapa pun presiden yang terpilih. Proses demokrasi yang keras telah menciptakan situasi bahwa orang tidak boleh lagi tidak maju. Pilihannya tinggal “maju pesat” dan “cukup maju” saja.

Agar tidak terjadi kekecewaan yang meluas, sebaiknya semua orang menyiapkan mental bahwa Indonesia akan “cukup maju” saja. Jangan terlalu berharap bahwa Indonesia akan “maju pesat”. Harus kita syukuri bahwa “cukup maju” adalah satu keberuntungan yang hebat. Kalau ternyata Indonesia bisa “maju pesat”, anggap saja kita semua mendapat “bonus”. Dengan demikian, kita bisa hidup lebih bahagia. Sebab, menurut pendapat saya, bahagia adalah “apa yang kita dapatkan lebih baik dari yang kita harapkan”.

Untuk sekadar bisa mengharap “cukup maju” pun ada syaratnya. Rakyat sebaiknya segera melupakan pemilu, melupakan politik, dan melupakan bahwa pernah ada tokoh-tokoh yang membuat janji-janji kampanye. Kita harus tahu bahwa janji kampanye adalah bukan program. Maka, jangan gantungkan nasib kita masing-masing kepada janji-janji itu.

Juga, jangan pedulikan ini: siapa jadi siapa. Toh, mereka juga tidak akan bisa membawa nasib kita masing-masing menjadi langsung lebih baik. Yang bisa membuat nasib kita baik adalah kita sendiri. Maka, sebaiknya yang sudah bekerja segera meneguhkan diri untuk kembali bekerja secara tekun dan fokus pada profesinya.

Yang belum bekerja segera menentukan sikap: apakah akan terus mencari pekerjaan atau harus segera berusaha sendiri, meski dengan susah payah dan dengan skala yang amat kecil. Pada akhirnya, diri masing-masinglah yang akan menyelamatkan masing-masing: bukan partai, bukan politikus, dan bukan pejabat pemerintah.

Bagi pengusaha, segera lupakan pikiran “wait and see”. Lupakan keinginan untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, stimulus, insentif, atau koneksi. Zaman sudah berubah: daripada untuk menyogok, lebih baik uang dipakai untuk menaikkan gaji buruh. Yakinlah bahwa Indonesia “siapa pun presidennya” akan terus maju, sehingga kalau seorang pengusaha tidak maju, maka dia akan ketinggalan dari kemajuan itu sendiri.

Dengan gaya kepemimpinan nasional seperti yang akan terjadi lima tahun mendatang, kita sudah tahu bahwa meski pemerintah tidak akan bisa banyak membantu, tapi juga tidak akan banyak mengganggu. Berarti, maju tidaknya dunia usaha kini sepenuhnya ada di tangan para pengusaha sendiri.

Dengan gaya kepemimpinan nasional yang tenang, seharusnya dunia usaha senang karena pada dasarnya dunia usaha menyenangi stabilitas. Apalagi, dunia usaha di Indonesia sebenarnya sudah sampai pada tingkat “tidak perlu dibantu” asal “jangan diganggu”. Bahkan persyaratan “jangan diganggu” lebih penting daripada “harus dibantu”.

Untuk lima tahun ke depan ini, dunia usaha sudah akan cukup senang kalau pemerintah bisa menciptakan keamanan yang baik, peraturan tidak berubah-ubah, kurs rupiah stabil “berapa pun nilainya?, dan sampai ketemu di pemilu yang akan datang. Tertangkapnya teroris, berkurangnya perampokan, dan tidak adanya kerusuhan adalah tiga tugas utama SBY untuk pengusaha. SBY pasti mampu melakukannya. Sedangkan kurs yang stabil, Boediono jagonya. Hanya empat itu tugas utama pemerintah yang diharapkan dari rakyat “tiga tugas SBY dan satu tugas Boediono. Selebihnya, kini pengusaha sudah bisa maju sendiri.

Pengusaha (sektor swasta) yang “sudah bisa maju sendiri” itulah yang akan membuat lima tahun lagi pendapatan rakyat Indonesia menjadi USD 4.000/kapita. Bayangkan, alangkah hebatnya! (***)

Khawatir Square Jadi Korban Kepentingan Dunia atau Akhirat

Jum’at, 26 Juni 2009

Pikiran Besar di Kota Kecil (2-habis)
Khawatir Square Jadi Korban Kepentingan Dunia atau Akhirat



Hanya dalam waktu enam, Kendari benar-benar berubah dan berkembang. Banyak kemajuan yang saya lihat ketika untuk kali kedua saya berkunjungan ke ibukota provinsi Sulawesi Tenggara tersebut. Begitu banyak perubahan yang terjadi di kota itu.

Dan lihat!: di tengah-tengah kota itu ada square yang luasnya paling tidak lima ha. Di pusat kota. Alangkah langkanya sekarang kota yang memiliki square seluas itu di pusatnya. Begitu luasnya, saya sangat khawatir square tersebut akan diincar orang untuk keperluan lain yang lebih ”menguntungkan”. Baik alasan keuntungan dunia maupun akhirat.

Keuntungan dunia, misalnya, dengan cara membangun mal di situ. Alasan keuntungan akhirat, misalnya, untuk membangun masjid raya. Karena itu, saya berpesan kepada teman-teman Kendari Post untuk ikut menjaga keabadian square tersebut.

Wali kota atau gubernur bisa berganti dalam waktu lima tahun. Kebijakannya bisa saja hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek. Tapi, Kendari Post akan abadi berada di kota Kendari selamanya: bisa mengawasinya dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Kalau untuk kepentingan investor membangun mal atau hotel, rasanya teman-teman Kendari Post akan bisa konsisten mengkritisinya. Namun, belum tentu teman-teman sanggup menghadangnya kalau umat memintanya untuk membangun masjid raya. Karena itu, saya minta diantar untuk melihat masjid raya. Saya ingin melihat apakah masjid rayanya sudah cukup besar sehingga tidak mungkin lagi perlu membangun masjid raya yang lebih besar.

Ternyata Masjid Raya Kendari sudah cukup besar dan cantik. Letaknya pun di tanah yang agak tinggi sehingga kelihatan anggunnya. Tapi, saya perkirakan 10 tahun lagi Kendari memerlukan masjid raya yang lebih besar. Apalagi kalau keputusan itu dibuat orang yang ingin terpilih sebagai gubernur atau wali kota.

Kalau toh keinginan itu akhirnya benar-benar terjadi, sebaiknya memilih lokasi yang di pinggir teluk. Juga di lahan yang cukup besar. Dengan membangun masjid raya di pinggir pantai, maka cahaya dan keagungannya akan sangat menonjol. Seperti Masjid Raya Samarinda yang di pinggir Mahakam, meski lokasinya kurang ditinggikan dan kurang luas. Tapi, Masjid Raya Samarinda sungguh agung.

Kini square di Kendari itu memang kurang terawat. Tamannya sudah banyak yang rusak, bangunannya mulai kusam, serta kolam yang indah dan luas itu tidak diberi air. Kalau toh ada bagian kolam yang masih ada airnya, itu hanya difungsikan penduduk untuk mencuci sepeda motor. Maklum, square itu sudah dibiarkan telantar sejak selesai dipakai untuk kali pertama sebagai tempat penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) -kejuaraan membaca Alquran- dua tahun lalu.

Meski menyesalkan penanganan pasca-MTQ, saya sangat menghormati ide besarnya. Square itu (kemudian saya namakan MTQ Square), didesain untuk plaza terbuka dengan bagian entrance yang indah merangkap sebagai panggung utama MTQ saat itu. Di depannya terhampar dua kolam luas yang tidak dalam. Di sinilah, di atas air itu, para penari secara kolosal membuka MTQ tersebut.

Menghadap ke panggung itu, di tengah-tengah square, ada plaza dengan bangunan terbuka dan tertutup. Juga sangat atraktif. Masyarakat kini sering menyelenggarakan pesta perkawinan di plaza tersebut. Termasuk ketika Kiai Mbeling M.H. Ainun Najib mantu karena menantunya orang Kendari.

Di belakang plaza itu masih ada lapangan terbuka yang luas lagi. Lalu, di ujungnya ada tower yang tingginya 60 meter, yang bentuknya mirip menara Shanghai yang terkenal itu.

Bagian bawah menara tersebut, saya lihat belum jadi. Tapi, dari luar sudah kelihatan indahnya. Bahkan, dari pantai pun kelihatan seperti menjadi ikon terpenting Kota Kendari.

Kelak, kalau Kendari sudah punya listrik dan wali kotanya sudah rukun dengan gubernurnya, pasti MTQ Square itu akan menjadi sangat indah. MTQ Square tersebut (juga proyek hotel bintang lima yang mangkrak di tengah kota), kabarnya, memang menjadi korban ketegangan hubungan antara gubernur dan wali kota.

Kini salah satunya sudah berganti. Mudah-mudahan ketegangannya tidak abadi. Tidak akan seterbengkalai proyek pelabuhan besar Surabaya yang juga jadi korban ‘’sandera” antara wali kota Surabaya dan gubernur Jatim.

Kali ini, saya pulang dari Kendari dengan pikiran yang senang, hati yang berbunga-bunga dan mendapatkan ide bagaimana pola perencanaan Kendari yang serbabesar itu bisa ditiru wilayah-wilayah berkembang lainnya seperti Kaltim, Kalteng, Kalbar, Irja, dan Halmahera atau Seram. (*)

Pikiran Besar di Kota Kecil (1)

Kamis, 25 Juni 2009
Pikiran Besar di Kota Kecil (1)
Sebagaimana Hati Saya, Kendari Benar-Benar Berbeda

Saya pernah tergeletak kelelahan di ruang tunggu yang pengap, sempit, dan kotor menunggu keberangkatan pesawat yang akan membawa saya ke Makassar dan Ambon. Kejadiannya sekitar enam tahun lalu, ketika pesawat mengalami keterlambatan selama dua jam di bandara Kendari.

Saat itu, ternyata saya sebenarnya sudah mulai sakit, namun tidak pernah saya rasakan. Mestinya hati saya sudah terkena sirosis, mengeras dan sudah mulai tumbuh bibit-bibit kankernya. Namun, saya tidak tahu semua itu. Kelelahan yang saya rasakan di ruang tunggu itu semula hanya saya anggap sebagai akibat kurang tidur dan perjalanan panjang ke beberapa kota sebelumnya.

Pekan lalu, saya kembali lagi ke Kendari, yang menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Semuanya sudah berubah. Bandara lama yang parah itu sudah diganti dengan bandara baru yang indah. Tidak besar, tapi cantik dan modern. Cukuplah untuk kepentingan Kendari sampai lima tahun ke depan.

Penerbangan juga sudah begitu banyak sehingga kalau ada pesawat yang terlambat pun masih ada pilihan untuk “loncat” ke pesawat yang lain. Jalan menuju bandara itu juga sudah disiapkan sangat lebar sehingga tidak akan mengalami kesulitan kalau arus lalu lintas meningkat drastis di kemudian hari.

Kini negara kita memang sudah mulai punya bandara-bandara yang baik. Di Makassar megahnya bukan main, di Palembang juga indah dan modern, Manado sudah baik, Ambon demikian juga, Padang juga sudah modern. Bahkan, Makassar dan Palembang sudah terasa kurang besar karena kemajuan wilayah-wilayah di luar Jawa sangat cepat.

Tinggal Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur yang begitu kaya, bandaranya lebih jelek daripada terminal angkutan kota di Kendari. Memang sedang ada persiapan membangun bandara di Samarinda, tapi masih sangat ruwet untuk bisa berharap cepat selesai.

Maka, kedatangan saya ke Kendari kali ini dengan suasana yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan enam tahun lalu. Bandara baru, jalan-jalan baru, dan dengan hati saya yang juga baru. Hampir dua tahun lalu saya memang menjalani operasi ganti hati di Tianjin, Tiongkok, yang alhamdulillah berhasil dengan sangat baik.

Kegembiraan hati saya kali ini juga saya rasakan setelah melihat bahwa harian Kendari Post dan juga Kendari Ekspres mengalami kemajuan yang pesat. Apalagi saya juga melihat para pimpinan dan manajer saya di Kendari sudah sangat mampu sehingga sudah tidak perlu lagi diajari, dibina, atau dimarahi.

Maka, kedatangan saya ke Kendari sore itu benar-benar hanya untuk “rekreasi”, ngobrol santai dengan karyawan di ruang rapat, makan-makan ikan bakar yang sangat segar itu, jalan-jalan ke pantai, menengok dua karyawan yang lagi sakit di rumah masing-masing, ke kota lama, ke MTQ Square, ke kota atas, dan besoknya sudah bisa terbang ke Manado (via Makassar) pada pukul 07.00 pagi.

Kendari, sebagaimana juga hati saya, sudah benar-benar berbeda. Ketika saya datang ke Kendari pertama kali untuk membangun Kendari Post 14 tahun lalu, di kota itu praktis hanya ada satu jalan yang memanjang. Ibaratnya, kalau Joko Tjandra mau melarikan diri, jangan sekali-kali melarikan diri ke Kendari: pasti kepegang. Mau lewat jalan mana hayooo? Hanya ada satu jalan di situ.

Kini Kendari sudah sangat berkembang. Memang terasa kota ini kekurangan dana pembangunan (dan terutama dana pemeliharaan), tapi dasar-dasar pembangunan kotanya sudah sangat baik: tidak hanya terfokus ke kota lama yang sempit, tapi sudah membangun kota baru yang masih mudah direncanakan. Juga mulai membenahi pinggir lautnya yang panjang karena Kendari memang memiliki kekayaan teluk yang jauh menjorok ke dalam (banyak yang berseloroh bentuk teluk Kendari ini menggambarkan kekayaan vital terpenting wanita).

Kota itu juga sudah mengalokasikan wilayah perkantoran seluas 1.000 ha dengan infrastruktur jalan yang sudah dan sedang dikerjakan. Kantor gubernur yang baru dibangun di sini. Juga mapolda dan lain sebagainya.

Bangunan kantor gubernurnya sendiri kecil (sesuai dengan keperluan yang ada sekarang), tapi persiapan luasan lahannya yang kini masih berbentuk taman hutan sangat mengesankan. Terasa para pemimpin di Kendari memiliki sisi wawasan ke depan. (Bersambung)

Selamat Jalan, Angky Camaro

Selasa, 23 Juni 2009

Selamat Jalan, Angky Camaro
Saya Pernah Minta Dia Transplan Ulang

Tiba-tiba saja dia mengeluh sesak napas sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Ternyata paru-parunya berair. Orang yang baru transplan memang harus benar-benar menjaga paru-parunya karena organ penting ini memang paling sering terkena dampak dari transplantasi.

Menurut saya, ada tiga kemungkinan yang menyebabkan gagalnya transplantasi pada Angky. Pertama, karena memang sudah takdir. Kedua, karena almarhum adalah penderita penyakit kencing manis (diabetes mellitus) sehingga gula darahnya sulit dikendalikan. Ketiga, karena terserang virus ganas bernama citomegali (CMV), yang biasa menyerang orang-orang yang menjalani transplantasi.

Dari pengalaman saya yang baru menjalani transplan hati dua tahun lalu, penyebab kedua dan ketiga bisa dikendalikan kalau pasien transplan masih tinggal di rumah sakit. Namun, Pak Angky sudah kembali ke Indonesia hanya tiga minggu setelah transplantasi.

Waktu dia menelepon, memberi tahu bahwa dia sudah kembali ke Jakarta, saya kaget sekali. Belum satu bulan kok sudah kembali. Padahal, sudah berkali-kali saya berpesan agar tetap di rumah sakit. Minimal 2,5 bulan setelah transplantasi. Saya sendiri setiap tiga bulan masih memeriksakan diri ke rumah sakit di Tianjin.

Dia berani segera pulang karena menggunakan pesawat pribadi yang aman dari penularan virus. Dua minggu setelah transplantasi, kebanyakan pasien memang sudah langsung merasa sehat. Inilah biasanya yang membuat keinginan pasien untuk pulang menjadi sangat besar. Selain sudah bosan tinggal di rumah sakit, juga lantaran merasa toh sudah sehat.

Itu keputusan yang sangat membahayakan diri sendiri. Terutama kalau tiba-tiba terjadi masalah kesehatan, seperti infeksi. Baik akibat bakteri maupun virus. Bila ini terjadi, dokter mana pun akan kesulitan mengatasinya.

Kondisi itu sangat mungkin terjadi, karena semua pasien transplan harus minum obat yang disebut immunosuppressant. Fungsi obat ini untuk menekan ketahanan tubuh agar tidak terjadi rejeksi atau penolakan terhadap organ yang baru ditransplankan. Ketika Angky meninggal kemarin, saya sedang berada di Tianjin. Namun, saya sempat menyarankan agar almarhum menjalani transplan ulang dan pindah ke rumah sakit yang mentransplankan hati barunya.

Namun, kondisi Angky terus memburuk dan hampir sepanjang sisa hidupnya habis untuk keluar masuk ICU di Jakarta dan Singapura. Transplantasi Angky sebenarnya tergolong sukses besar. Buktinya, dua hari setelah transplantasi, dia sudah bisa kirim SMS mengenai kondisi badannya yang langsung sehat. Juga tentang kreatininnya yang langsung normal, padahal sebelumnya sangat tinggi.

Di SMS itu dia juga bercerita tentang berat badannya yang langsung turun 20 kilogram lebih. Sebab, ternyata yang membuatnya (sebelum transplantasi) sangat gemuk itu sebenarnya hanya air. Angky, sebagaimana yang pernah dia tuturkan ke harian Business Today, tak pernah tahu bahwa fungsi ginjalnya sudah tidak normal. Dia baru tahu itu pada awal April 2005. Yakni, ketika tiba-tiba dia menemukan bisul yang bernanah di pantatnya. Bisul itu membuat Angky tidak bisa duduk karena pantatnya bengkak dan sakit luar biasa.

Dari situlah dia tahu bahwa gula darahnya 500 mg/dl dan kreatininnya sudah 3,5 mg/dl. Ini keadaan yang sudah sangat parah, sebenarnya. Sebab, normalnya, gula darah orang (dalam keadaan puasa) tak boleh lebih dari 100 mg/dl. Sedangkan kreatinin orang sehat antara 0,5 sampai 0,9 mg/dl. Tetapi, itulah hebatnya Angky. Meski kondisinya sudah seperti itu, dia tetap bekerja seperti biasa. Andai pantatnya tidak bisulan dan bengkak, bisa dipastikan Angky tidak akan berobat.

Karena tidak tahan lagi dengan rasa sakit itu, Angky tidak membantah ketika dokter menyuruhnya opname. Sebab, selain nanah di bisulnya harus dikeluarkan lewat operasi, rawat inap di rumah sakit itu juga untuk mengatasi gula darah dan kreatininnya. (*)

Selamat jalan, Angky Camaro. Tepat setahun tiga hari setelah menjalani transplantasi ginjal, teman dekat saya itu meninggal dunia. Sebenarnya tanda-tanda bahwa transplantasinya gagal sudah terlihat tak lama setelah presiden komisaris PT HM Sampoerna Tbk yang juga direktur Indofood Sukses Makmur Tbk itu kembali ke Jakarta.

Ide Besar dari Bukit Halimun

Selasa, 04 Agustus 2009
Ide Besar dari Bukit Halimun

Akhirnya sampai juga saya ke Luwuk. Bahkan, bisa dua malam berada di calon ibu kota Provinsi Sulawesi Timur ini karena batalnya kedatangan pesawat yang akan membawa saya keluar dari Luwuk kemarin.Saya tidak menyangka Kota Luwuk seramai dan sedinamis ini. Ketika memutuskan akan ke Luwuk, saya sudah siap dengan keadaan yang serbaminim. Ternyata Kota Luwuk, meski berstatus kecamatan, lebih besar dan lebih dinamis dibanding Gorontalo. Alamnya juga lebih indah dan hijau.

Topografi wilayahnya sangat menarik: ada teluk yang menjorok bulat ke dalam kota sehingga menyerupai danau besar; ada tanjung yang seperti memeluk kota, ada laut dengan pulau besar di kejauhan sana, dan ada bukit tinggi yang jadi backdrop kota ini. Bukit itu begitu dekatnya dengan kota sehingga menjadi keunikan tersendiri: orang bisa naik ke atas bukit dengan cepat dan bisa melihat kota di bawah sana dengan sejelas-jelasnya.

Malam hari, dari atas bukit ini akan terlihat pusat kota dengan ”danau” yang besar dan kapal-kapal yang bersandar di pelabuhannya. Tadi malam saya diajak teman-teman Luwuk Post untuk makan malam di atas bukit yang oleh penduduk lokal disebut Keles itu. Terlihat jelas bagaimana kapal Pelni, KM Tilong Kabila, meninggalkan teluk ini dan tak lama kemudian kapal besar pengangkut kontainer ganti masuk ke dalamnya. Kalau kelak Luwuk bisa berkembang menjadi kota kaya, pemandangan kota ini seimbang dengan kota seperti San Francisco. Hanya akan kalah dengan kota Rio de Janeiro di Brazil.

Bisakah Kota Luwuk menjadi kota yang amat maju di kemudian hari? Tentu bergantung pada banyak faktor. Tapi, alamnya memberikan modal untuk bisa ke sana. Kota ini memiliki sumber air tawar yang luar biasa kualitas dan kuantitasnya. Sampai-sampai Luwuk digelari ”kota berair”. Sebuah kota di pantai dengan backdrop bergunungan, tapi sumber air tawarnya muncul dari mana-mana. Kota yang memiliki sumber air seperti ini akan ditakdirkan menjadi kota yang disenangi umat manusia. Kehidupan tidak akan bisa dilepaskan dari air.

Kota ini memiliki pantai yang panjang dengan laut yang berbatasan dengan Laut Maluku yang kaya ikan. Di seberang sana terhampar pulau besar bernama Peling (wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan) yang secara alamiah menjadi pelindung pantai Kota Luwuk. Bahkan, dengan ditemukannya sumber minyak dan gas, kota ini tinggal menunggu saja takdir kemajuan berikutnya. Apalagi, perkebunan sawit dan kakau juga sangat baik di wilayah ini. Hasil bumi juga cukup karena tanahnya subur. Singkat kata, Sulawesi Timur ini sangat berbeda dengan wilayah baratnya, seperti Palu, yang terkesan amat kering.

Namun, Luwuk masih terasa nun jauh di sana. Misi pemdanya memang harus mengatasi yang satu ini: mendekatkan Luwuk ke dunia luar. Rencana memperpanjang landasan Bandara Bubung dari 1.200 meter sekarang ini menjadi 1.600 meter sudah dalam perencanaan. Namun, rasanya harus dipercepat. Pembangunan pelabuhan peti kemas yang baru di Tangkiang sudah nyaris selesai. Pelabuhan baru ini dalam waktu dekat bisa membuat barang yang datang ke daerah ini lebih murah karena bisa diangkut dalam jumlah besar.

Ketika baru mendarat dari Manado dua hari lalu, saya memang langsung minta diantar ke pelabuhan lama di pusat Kota Luwuk. Maklum, hari sudah senja. Saya khawatir keburu malam sehingga tidak bisa melihatnya dengan baik. Belum tentu keesokan harinya saya tidak meninggalkan Luwuk pagi-pagi sekali. Maka, dari bandara saya langsung ke pelabuhan: kaget. Arus barang yang masuk pelabuhan ini sangat besar. Jumlah peti kemas yang turun naik jauh melebihi apa yang pernah saya lihat di Pelabuhan Gorontalo.

Pelabuhan Luwuk sebenarnya sangat istimewa. Dalamnya sampai 13 meter (Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hanya 9 meter) dan tidak ada ombak sama sekali. Maklum, letaknya di teluk yang dalam. Sayangnya, ”pintu” masuk ke teluk ini ternyata dangkal. Hanya 6,5 meter. Kapal agak besar harus menunggu air pasang untuk bisa masuk atau keluar teluk. Karena itu, sudah tepat kalau pelabuhan peti kemas ini dipindah ke arah Sselatan Luwuk. Yakni, ke daerah Tangkian, sekitar 40 km dari Luwuk.

Keesokan harinya saya minta diantar melihat pelabuhan baru itu. Benar. Sudah selesai. Tinggal crane yang belum ada. Tapi, untuk skala Luwuk, mungkin cukup dengan crane mobile yang bisa dipindahkan dari pelabuhan lama. Teman-teman Luwuk Post saya minta mengukur kedalaman pelabuhan baru ini. Bukan dengan cara menyelam, namun memasukkan tali yang menggunakan pemberat. Ternyata sangat dalam: 12 meter lebih. Sungguh merupakan pelabuhan laut yang sangat ideal. Apalagi, ombaknya juga kecil. Kelihatannya ombak mengarah ke pantai di tanjung utaranya.

Kalau toh ada yang kurang dari pelabuhan ini adalah jalan provinsi yang terlalu mepet ke pelabuhan. Atau pelabuhannya yang terlalu mepet ke jalan provinsi itu. Dari teman Luwuk Post saya mendapat penjelasan bahwa sudah ada rencana memindahkan jalan tersebut ke balik gunung. Kalau ini bisa dilaksanakan, pelabuhan ini menjadi sangat ideal: wilayah yang aman dari masyarakat umum. Kalau pengalihan jalan itu tidak bisa dilaksanakan, saya khawatir nasibnya seperti Pelabuhan Tanjungkarang di Lampung. Kumuh dan terkesan kurang aman.

Tentu saya juga sekalian melihat calon lokasi terminal LNG. Sebab, inilah proyek yang akan membuat Luwuk masuk dalam peta dunia. Saya diberi penjelasan mengenai kesulitan-kesulitan proyek ini, tapi saya percaya semua pihak bisa menyelesaikannya. Terlalu besar proyek ini untuk dibiarkan tertunda-tunda. Saya sendiri, tanpa diminta pun akan ikut mendukung percepatan pelaksanaan proyek ini.

Dari sana teman-teman mengajak saya ke Bukit Halimun: melihat kantor bupati dan rumah jabatannya yang baru. Dari sini terus naik melalui jalan tembus yang melewati tengah hutan itu. Saya ingin tahu apa kira-kira maksud Bupati Ma’mun Amir membangun Bukit Halimun.
Dari Kota Luwuk bangunan baru di Bukit Halimun tersebut sudah terlihat sangat menonjol. Ini karena arsitektur Romawinya dan ukurannya yang menonjol. Terutama kalau dibandingkan dengan umumnya bangunan yang ada di Luwuk yang kecil-kecil dengan atap seng. Maka, bangunan kantor bupati dan rumah jabatan tersebut terasa seperti istana: letaknya di atas bukit dengan luasan yang ideal.

Rumah jabatan itu berdiri di atas lahan seluas kira-kira satu hektare. Ada lapangan tenis di pojok halamannya. Taman-tamannya luas meski belum terlihat indah. Tapi, bangunan yang indah ini dirusak oleh papan nama yang terbuat dari kayu yang lebih cocok dipasang di depan bangunan kelas puskesmas.

Dari halaman rumah bupati kita bisa melihat laut di bawah sana. Juga Kota Luwuk dengan teluknya. Terlihat juga Pulau Peling di kejauhan sana. Ideal sekali lokasi ini untuk rumah pejabat tertinggi di wilayah ini. Baru di bawahnya dibangun kantor bupati dengan arsitektur yang juga Romawi. Sayangnya, lingkungan kantor pemda ini belum digarap. Kesannya lantas seperti bangunan indah yang dikelilingi semak-semak yang liar.

Saya menduga, kantor dan rumah bupati ini adalah lokomotif untuk menarik gerbong-gerbong berikutnya agar ikut bergerak ke Bukit Halimun. Kelak kantor-kantor lain kelihatannya diharuskan pindah ke Bukit Halimun. Bahkan, tidak mustahil kalau akhirnya Bukit Halimun menjadi kota baru yang indah dan modern bagi Luwuk. Bukit Halimun punya potensi untuk bisa menjadi Putra Jayanya Kuala Lumpur. Yakni, sebuah kota baru yang tertata rapi di luar Kota Kuala Lumpur. Perdana Menteri Malaysia dan para menterinya berkantor dan tinggal di kota baru itu.

Kalau memang skenario itu yang akan dilakukan bupati Banggai, saya akan menggolongkan bupati Banggai sebagai seorang pemimpin yang punya pikiran besar. Saya sangat setuju dengan konsep tersebut. Membenahi kota-lama Luwuk akan sangat sulit, memakan energi yang luar biasa besar dan mungkin terlalu banyak bertengkar dengan masyarakat. Membangun kota baru di Bukit Halimun akan lebih tepat. Kelak, kalau kota baru itu sudah jadi, dan masyarakat sudah biasa melihat kota baru yang tertata rapi, lama-lama para pemilik bangunan di kota lama pun merasa malu. Mereka akan dengan sendirinya membenahi bangunan-bangunan mereka.

Akankah Bukit Halimun segera menjadi kota baru yang ideal bagi masa depan Luwuk? Tentu bergantung pada pimpinan daerah ini berikut anggota DPRD-nya. Tapi, itulah jalan yang paling tepat untuk membuat Luwuk terkenal ke seluruh Indonesia. Satu-satunya kota yang memiliki kota baru dengan konsep yang jelas dan tata letak yang sangat indah. Karena itu, lahan 2.000 ha di Bukit Halimun tersebut (di belakang rumah bupati) harus segera diamankan dan ditata peruntukannya. Jalan-jalan yang akan membelah-belah lokasi itu harus sudah ditentukan plotnya sekarang agar para pembeli tanah di sana sudah tahu mana yang bisa dibeli dan mana yang tidak bisa dibeli. Tanah-tanah yang diplot untuk jalan-jalan di lokasi tersebut sudah harus ditentukan. Dengan kelebaran yang cukup. Bukan dengan kelebaran jalan-jalan sempit seperti yang ada di Kota Luwuk sekarang.

Kepada teman-teman Luwuk Post saya mengatakan bahwa Bukit Halimun akan menjadi kawasan yang paling berkembang di Luwuk. Mengapa? Inilah kawasan yang sangat indah, yang lokasinya membentang di antara pusat kota dengan Bandara Bubung. Wilayah yang menghubungkan kota dan bandara adalah wilayah yang paling berkembang. Di mana pun di dunia ini. Termasuk di Indonesia. Karena itu, wilayah Bukit Halimun harus ditata mulai sekarang. Kalau sampai terlambat menyadari hal ini, wilayah itu hanya akan menjadi wilayah rusak berikutnya.

Nama ”Bukit Halimun” sendiri sangat menarik. Sangat puitis. Juga cocok dengan wilayahnya yang bergunung dan sering disinggahi kabut itu. Nama Bukit Halimun jauh lebih. (*)

Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda

Minggu, 09 Agustus 2009

Dahlan Iskan: Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)
Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda


Saya tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan, masih segar bugar. Dia lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah berusia 88 tahun. Bicaranya masih sangat bersemangat dan ingatannya masih luar biasa tajam.

Dia tidak pernah diwawancarai wartawan, setidaknya karena dua hal. Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada wartawan yang berani mewawancarainya. Kedua, dia memang jarang bergaul di depan umum. Ini karena sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu berada di penjara. Kalau toh waktu itu sedang di luar penjara, dia tidak berani menggunakan nama aslinya.

Dan, 22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia memilih tinggal di Sydney, yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang Indonesia. Apalagi, dia juga lantas menjadi warna negara Australia.

Tinggal dialah tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945 yang masih hidup. Yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama ini kita hanya menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan Abdoelgani. Padahal, yang satu ini adalah ketuanya dua orang itu. Bahkan, Bung Tomo pernah minta kepada dia agar diselamatkan nyawanya. Yakni, ketika Bung Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap melanggar disiplin perjuangan.

Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu. Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek: Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja.

Dia juga pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan pangkat sersan atau Setia dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang sedang menangkapnya. Dia sendiri secara resmi pernah punya pangkat mayor jenderal (tituler) yang diberikan oleh Bung Karno.

Begitu mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya langsung berusaha mencari dan menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari orang yang tahu alamat lengkapnya di Sydney. Saya bertekad ingin ke sana khusus untuk menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri alamatnya itu, saya mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya.

Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono keburu balik ke Sydney. Pagi itu juga saya bisa diterima di rumah anaknya di bilangan Bintaro. Salah satu dari enam anaknya memang tinggal di perumahan kelas menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang kawin dengan seorang fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan hanya oleh ibunya, karena sang ayah lebih banyak ‘’sibuk” masuk penjara.

Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan banyak hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun yang menewaskan banyak sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh utama dalam Peristiwa Madiun 1948 yang amat terkenal itu. Jabatannya dalam struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir Syarifudin itu sangat tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis khusus mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala itu.

Soal pertempuran Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke soal detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci, dengan warna-warna yang kaya dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama pertempuran Surabaya. ”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya mengapa dia tidak mau menonjolkan diri. ”Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” tambahnya.

Tapi, mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh pertempuran Surabaya? Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah saya dengar selama ini. Jawabannya ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa pun selama ini. ”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.

PRI adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Soemarsonolah ketua PRI itu.

Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek Soroboyo melalui radio, Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan rakyat di lapangan. Membakar semangat yang sama dari kampung ke kampung. Kalau istilah sekarang, Bung Tomo yang melakukan serangan udara dan Soemarsono yang menggelar serangan darat.

Selama ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita mengenal Bung Tomo sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia). Bukan sebagai bagian penerangan PRI. ”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi, itu belakangan. Setelah dia semakin terkenal, kemudian dia mendirikan BPRI. BPRI itu berdiri belakangan,” ujarnya.

Bahkan, menurut Soemarsono, tindakannya mendirikan BPRI itu sempat menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda Surabaya marah. Bung Tomo dianggap berusaha memecah belah kekuatan pemuda Surabaya.

Bung Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh pemuda-pemuda beringas itu. ”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan hukuman kepadanya,” kata Soemarsono.

”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo langsung duduk jongkok di depan saya. Minta nyawanya diselamatkan,” tambah Soemarsono. Kisah ini benar-benar baru bagi saya.

Saat itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda itu. Dia menjelaskan bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI justru bisa menampung pemuda-pemuda yang masih di luar PRI, seperti tukang-tukang becak.

Para pemuda beringas tersebut ternyata bisa menerima penjelasan Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung Tomo tetap sebagai ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang bergerak sendiri.

PRI sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan sebelum pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua organisasi pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang Kaslan menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.

Dua hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang juga dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum itu memilih Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih secara aklamasi. ”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini,” ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono.

PRI memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan Wilhelminalaan. Hari itu juga papan nama jalan tersebut langsung mereka ganti dengan Jalan Merdeka (sekarang dikenal dengan nama Jalan Widodaren). Belakangan markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh lebih besar.

”Roeslan Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa terlalu tua. Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar Soemarsono seraya tersenyum. ”Kalau saya ini sudah sering bilang kepada istri bahwa saya bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,” tambahnya. (bersambung)